Wednesday, March 2, 2011

Sahabat Saya Si Untung

Berlibur ke Pangandaran sepertinya sudah menjadi tradisi orang Bandung. Hampir setiap musim liburan, ada saja teman yang mengajak berlibur ke Pangandaran. Biasanya saya selalu menolak ajakan-ajakan itu karena bagi saya Pangandaran tidak terlalu istimewa dan rasanya bosan kalau harus bolak-balik mengunjungi tempat yang sama padahal masih banyak tempat lain yang belum saya kunjungi, tapi kali ini, dengan sedikit paksaan, akhirnya saya setuju ikut berlibur ke Pangandaran.


Menghabiskan waktu beberapa hari di Pantai Pangandaran terasa biasa saja, kecuali saat makan tiba. Dengan semangat saya memilih aneka ikan dan saudara-saudaranya, yaitu udang, kepiting, dan cumi di pasar ikan, lalu mengeluarkan segenap kemampuan bernegosiasi alias tawar menawar harga dan akhirnya menyerbu hidangan laut yang sudah dimasak sampai ludes.


Sebenarnya ada satu syarat yang saya ajukan sewaktu teman saya mengajak ke Pangandaran, syaratnya adalah saya mau ikut ke Pangandaran kalau mereka mau singgah di Green Canyon. Ngapain repot-repot melakukan perjalanan kalau tidak ada sesuatu yang baru dan menarik buat saya.


Sesuai kesepakatan awal, pada hari ketiga kami melakukan perjalanan ke Green Canyon. Sebenarnya saya tidak berharap banyak akan menemukan keindahan atau keseruan di Green Canyon, saya cuma berpikir setidaknya ada suasana baru.


Setelah melakukan perjalanan dengan mobil, kami naik perahu menyusuri sungai berwarna hijau dan berair payau. Perjalanan menggunakan perahu hanya makan waktu sebentar lalu perahu berhenti di mulut gua dan kami harus meneruskan perjalanan tanpa perahu. Beberapa menit kemudian saya baru sadar kalau itu bukan gua. Jelas saja, judulnya saja Green Canyon, sudah pasti itu adalah ngarai.


Begitu memasuki ngarai, wow! Saya terpukau dengan suasana ngarai hijau ini. Tebing tinggi berlumut di kanan kiri lalu dasar ngarai adalah air yang begitu bening sehingga kita bisa melihat bebatuan berlubang-lubang di dasar air. Ditambah lagi tetesan air yang jatuh dari atas tebing berpadu dengan sinar matahari yang menembus tumbuh-tumbuhan hijau di sekitar tebing yang membuat setiap tetesan air tampak berkilauan. Mendadak saya merasa sedang berada di dunia petualangan Indiana Jones dan saya pun siap beraksi.


Dengan penuh semangat untuk menjelajahi dunia baru ala Indiana Jones, saya berenang menyusuri ngarai disambung dengan merangkak melewati bebatuan lalu kembali berenang lalu harus melompati bebatuan, lalu berenang kembali, lalu memanjati bebatuan, dan lagi-lagi kembali berenang. Sungguh petualangan yang seru.


Satu hal yang menarik, tidak lama setelah berenang menyusuri ngarai, ada satu batu besar setinggi tujuh meter dari permukaan air ngarai yang bisa dipakai terjun ke air. Untuk memanjatnya saja lumayan ngeri, tapi masa sih saya sudah disini tapi tidak mencoba terjun dari batu itu. Sambil ngeri-ngeri asik saya memberanikan diri memanjat bebatuan licin sampai di ketinggian 7 meter. 


Setelah bersusah payah memanjat, sampai di ketinggian tujuh meter saya memandang ke bawah. Mengerikan sekali! Dari atas saya bisa melihat area lompatan saya hanya seluas 2 x 2 meter persegi, sementara diluar itu hanya ada air dangkal dengan dasar bebatuan keras. Kalau sampai lompatan saya meleset, tentu saja badan saya langsung terhempas ke bebatuan. 


Sudah kepalang tanggung, saya harus melompat. Dengan ngeri dan penuh doa, satu dua tiga! Saya melompat. Lalu terdengar bunyi, buukkkkk! Secepat kilat saya muncul dari dalam air dan berteriak, “Sakiiiittttttttttt!” 


Ternyata saya mendarat di tempat yang tepat, hanya saja posisi jatuhnya yang salah. Saya mendarat dengan posisi duduk sehingga pantat dan paha saya terasa sakit sekali. Begitu keluar dari air, saya langsung memeriksa badan saya. Ternyata pantat dan paha saya langsung berubah warna menjadi biru ungu lebam, sakit sekali. 


Yah, masih untung cuma salah posisi pendaratan, tidak terbayang kalo saya meleset dan jatuh di bebatuan, entah berapa tulang yang akan patah. “Sudah sakit begitu kok masih bilang masih untung.” komentar teman saya. Tapi betul kan, biarpun badan sakit biru lebam, masih untung tidak patah tulang. 


Setiap kali saya melakukan perjalanan, biarpun kesasar jauh dan cape, masih untung bisa menemukan jalan pulang. Ban mobil bocor? Masih untung ada yang mau menolong menggantikan ban. Kehilangan uang? Masih untung bawa kartu kredit. Kelelahan karena harus berjalan jauh? Masih untung ada yamg memberi tumpangan. Rupanya, kemanapun saya pergi, si Untung selalu menjadi teman setia saya. 


Coba kalau saya cuma berpikir sakitnya badan saya gara-gara salah lompat, kerepotan gara-gara ban mobil bocor, kesialan gara-gara uang yang hilang, pasti kesenangan seluruh perjalanan jadi hancur berantakan. Lebih baik bersahabat dengan si untung, membuat saya merasa selalu beruntung dan bersyukur.