Wednesday, June 29, 2011

Gagap Bahasa

Buat orang seperti saya yang suka keluyuran jauh dari rumah, masalah bahasa lumayan jadi faktor penting. Berada di suatu tempat tanpa menguasai bahasa setempat pastinya cukup merepotkan apalagi teman-teman ‘geng keluyuran’ saya termasuk gagap bahasa alias bahasa inggrisnya belang-bentong.

Suatu kali kami makan siang di sebuah restoran di Hongkong dan salah satu teman pria saya ingin makan dada ayam. Dengan penuh percaya diri dia bertanya kepada pelayan wanita di restoran itu,“Do you have breast?” Parahnya lagi, supaya si pelayan mengerti,secara refleks tangan teman saya memperagakan kedua tangan kedua tangan di dadanya sebagai bahasa isyarat. Saya langsung kaget dan berbisik, “Gawat! Bentar lagi ditampar deh.” Untungnya, kita berada di di Hongkong yang pelayannya kebetulan juga gagap bahasa. Jadi si pelayan hanya bengong dengan tampang bingung. Fiuh. Kali ini selamat deh. Coba saja kalau si pelayan mengerti bahasa inggris, kalau tidak satu tamparan mendarat di pipinya, paling tidak si pelayan bakal melotot dan memaki-maki temanku yang malang karena dianggap telah melecehkan. Hahaha.

Ternyata masalah makan dan bahasa belum selesai sampai disitu. Setelah melihat semua nasi yang disediakan restoran itu disiram dengan saus jamur, teman saya yang tidak suka jamur langsung bilang, “No mosquito! No mosquito!”  Serempak kita semua melongo, “Mosquito?! Maksud loe nyamuk?” “Bukan. Gua ga mau jamur,’ jelasnya dengan tampang polos. “Halah! Itu sih mushroom! Bukan mosquito! Mosquito itu nyamuk! Hahaha.” Sambil cengegesan dia bilang, “Perasaan jamur itu bahasa inggrisnya M..M…apa ya? Gue ingetnya sih Mosquito. Hehehe.” Bisa-bisanya dia bilang nasinya tidak mau ditambah nyamuk. Siapa juga yang mau.

Selain beda bahasa, tidak jarang pengucapan bahasa bisa jadi suatu masalah. Kali ini saya dan teman mengambil paket tur sehari di Bangkok, Thailand. Pagi-pagi sebelum jam 7, kami sudah dibangunkan oleh telepon dari petugas tur yang sudah nongkrong di lobby hotel. Sambil masih mengantuk kita diantar ke mobil minibus yang juga sudah nongkrong di pinggir jalan. Disana yang berkumpul tidak cuma turis-turis yang mengambil paket tur yang sama tapi juga semua turis yang hari itu akan berangkat dengan tujuan dan paket yang berbeda. Untuk membedakan paket tur yang kita ambil, lengan baju kita ditempel stiker berwarna sesuai dengan paket tur kita. Untuk urusan mengorganisir tur ini, orang-orang Thailand memang paling top dibanding negara-negara asia tenggara lain. Tidak satupun turis yang dibuat bingung dan terlunta-lunta atau di pingpong sana-sini meski para turis memesan paket tur dari agen perjalanan yang berbeda-beda dengan tujuan yang berbeda-beda pula. Tidak heran pariwisata Thailand cukup maju  dibanding negara-negara tetangganya, termasuk Indonesia.

Setelah badan kita ditandai, kita disuruh masuk salah satu mobil minibus. Saya dan kedua teman saya adalah rombongan pertama yang masuk mobil. Kami langsung mengambil posisi duduk di barisan kursi tepat di belakang supir dan beberapa turis lain duduk di barisan belakang kami, sementara barisan kursi paling belakang masih kosong. Kemudian ada seorang ibu yang rupanya bertugas mengatur para turis yang akan berangkat berkata dengan bahasa Thai, “Bihay, bihay.” Makin lama teriakannya makin keras, “Bihay! Bihay!” Entah dia bicara dengan siapa dan apa artinya. Lama kelamaan si ibu terlihat makin emosi. Teriakannya saja makin keras ditambah lagi matanya kian melotot. Masalahnya dia kok melototnya ke arah kami. Ternyata si ibu berteriak-teriak kepada kami, mungkin dipikirnya kami ini turis lokal Thailand karena sebagai sesama orang asia, wajah dan postur tubuh kami tidak jauh berbeda dengan orang asli Thailand. Jadi saya langsung pasang tampang bego dengan maksud si ibu itu mengerti kalau kami bukan orang Thailand dan tidak mengerti bahasa Thai. Tapi si ibu ini malah semakin emosi sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke barisan belakang mobil.

Ah! Saya baru sadar ternyata yang dia ucapkan adalah bahasa inggris ‘behind!’ tapi berhubung diucapkan dengan logat Thailand yang kental jadi terdengar ‘bihay, bihay’. Lha, ternyata maksud ‘bihay, bihay’ itu mengisi kursi di barisan belakang dulu alias behind. Pantas saja makin lama ibu itu makin naik darah, sudah teriak-teriak di depan kita, kita masih cuek bebek saja malah pasang tampang bego. Kami langsung ngedumel sambil cekikikan, “Yee, ngomongnya yang jelas dong bu, mo bilangbehind aja kok repot.”



Rupanya masalah bahasa ini tidak hanya terjadi di negeri orang saja. Di negeri sendiri, meskipun masih satu Indonesia, banyaknya suku dan bahasa yang ada kadang menimbulkan kejadian-kejadian lucu. Seperti waktu saya dan kakak saya menginap di rumah tante di Cirebon. Sore itu tante saya yang sedang duduk di beranda rumah melihat penjual sate sapi yang lewat. Langsung ia berteriak kepada kami “Kalian mau beli sate sapi nggak?” Kakakku balas berteriak dari dalam rumah, “Beli, Tante.” Selang 15 menit, kami masih menunggu sate sapi yang tak kunjung datang. Masa membakar sate selama itu. Akhirnya kami menyusul ke beranda dan ternyata tidak ada penjual sate disitu. Yang ada hanyalah tante kami yang sedang duduk santai menikmati suasana sore hari. “Lho, satenya mana Tan?” Ditanya begitu, tante malah bingung “Kan tadi bilangnya beli.” Mendadak tanteku sadar dan tertawa, sementara kami masih bengong. Lalu tante menjelaskan, ternyata beli dalam bahasa cirebonan itu artinya tidak. Pantas saja sate yang ditunggu-tunggu tidak datang karena kakak saya menjawab beli = tidak, waktu ditanya oleh tante. Alhasil kami hanya bisa meneteskan air liur lagi-lagi karena kendala bahasa, meskipun di negeri sendiri.

Bahasa Rahasia

Salah satu yang menyebalkan kalau saya jalan-jalan ke luar Indonesia adalah rasanya semua jadi serba mahal. Setiap kali mau beli sesuatu pasti saya mengeluarkan ilmu hitung menghitung dari mata uang setempat ke rupiah dan ujung-ujungnya saya meratapi nasib bangsa Indonesia yang memiliki nilai tukar mata uang yang rendah. 

Masih mending kalau belanja di supermarket atau penjual yang mematok harga pas, tidak usah repot tawar-menawar. Tapi kekurangannya adalah biasanya harga di supermarket lebih mahal dari toko yang menjual barang dengan gaya tawar menawar, meski tidak semuanya.

Jadi setiap kali mau bertransaksi , gaya tawar menawar saya adalah tanya harga, mengeluarkan handphone, lalu pencet-pencet bukan untuk menelpon tapi menggunakan kalkulator yang ada di handphone, kemudian mengajukan penawaran harga. Kalau si penjual menurunkan harga tawarannya, saya kembali melakukan aksi pencet-pencet handphone lalu kembali mengajukan penawaran. Begitulah seterusnya sampai saya mendapatkan harga yang pas atau malah akhirnya saya ngeloyor pergi dengan tangan kosong karena tidak proses tawar menawar gagal.

Yang lebih seru kalau belanja bersama teman jalan saya, selain jurus pencet-pencet handphone, biasanya saya dan teman saling berkomentar atau berdiskusi tentang harga dengan menggunakan bahasa Indonesia supaya si penjual tidak mengerti. 

Yang jadi masalah adalah waktu kami jalan-jalan ke Malaysia, negara tetangga yang bahasanya mirip dengan Bahasa Indonesia karena masih serumpun. Apalagi saat di Kuala Lumpur yang merupakan kota metropolitan seperti Jakarata, kegiatan saya disana tidak lebih dari jalan-jalan di tengah kota dan belanja. 

Tidak kehilangan akal, di Kuala Lumpur kami menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa rahasia. ‘Awis ah sakitu mah, jigana saratus mah dibere’ yang artinya: Mahal ah segitu sih, kayanya seratus bakal dikasih. Begitulah kira-kira bahasa rahasia kami. Bahasa rahasia ini cukup sukses digunakan selama berada di Malaysia, karena biasanya mereka bingung dari negara manakah kami berasal. Beda cerita kalau kami berkomentar menggunakan Bahasa Indonesia, biasanya mereka langsung ikut nimbrung menggunakan Bahasa Melayu.

Nah, satu kali saat kami sedang tawar menawar harga di Kuala Lumpur, seperti biasa kami asik berkomentar menggunakan bahasa rahasia alias Bahasa Sunda, tidak lama kemudian penjual di toko sebelah yang keturunan India ikut nyeletuk, “Kadieu atuh, kadieu. Murah.” Saya dan teman saling berpandangan dan tertawa. Yah, bahasa rahasia kami terbongkar deh.


Ngomong-ngomong tentang bahasa rahasia, mau tau kata terfavorit dalam bahasa rahasia kami? Tentu saja kata yang paling sering diucapkan saat belanja di luar negeri adalah awis alias mahal.