Thursday, May 20, 2010

Welcome To Indonesia


Melihat jembatan kayu sepanjang dua kilometer yang menghubungkan Pulau Tidung Besar dengan Pulau Tidung Kecil membuat saya langsung membayangkan kenikmatan duduk di atas jembatan kayu sambil memandang matahari terbenam. Itulah yang membuat saya memutuskan untuk berlibur ke Pulau Tidung.

 
Berangkat dari Pelabuhan Muara Angke yang berbau amis, becek ditambah melihat air laut yang hitam penuh sampah sudah tentu bukan pemandangan indah. Ditambah lagi kami harus berdesakan dan berebutan untuk naik perahu yang sudah berjubel penuh penumpang karena hari itu cukup banyak orang yang juga berangkat ke Pulau Tidung. Tapi bagi saya, seni dari melakukan perjalanan adalah menikmati setiap suasana. Hitung-hitung menambah pengalaman baru yang seru.

Yang sedikit membuat saya kuatir adalah kali ini saya membawa dua teman bule dan seorang teman keturunan Jepang yang berkebangsaan Amerika. Kira-kira apa yang ada di benak mereka tentang Indonesia ya. Jorok, kotor dan berbau? Semoga saja sesampainya di Pulau Tidung kesan itu terhapus oleh keindahan pantai dan laut biru negeri ini.

 
Begitu tiba Pulau Tidung, seketika semua kesan buruk langsung lenyap setelah saya melihat jembatan kayu idaman saya yang ternyata jauh lebih panjang dari yang saya bayangkan. Melewati jembatan kayu yang menjadi alasan saya datang ke Pulau Tidung sambil diterpa angin yang cukup keras, membuat sensasi tersendiri. Dan akhirnya saya benar-benar menikmati pemandangan matahari terbenam di atas jembatan kayu ini. Tidak ketinggalan sambil berfoto-foto ria.

 
Keesokan harinya, sesuai rencana kami menyewa perahu untuk bersnorkeling dan menikmati beberapa pulau di sekitar Pulau Tidung. Dari pagi hari, cuaca terlihat kurang bersahabat tapi kami memutuskan tetap pergi. Selama tidak berbahaya, kapan lagi bisa menikmati keindahan bawah laut di pulau sekitar karena besok kami sudah harus kembali pulang. Bersyukur di tengah perjalanan cuaca membaik dan kami bisa menikmati gugusan karang nan cantik dan ikan warna-warni yang bersliweran di bawah permukaan laut.

Setelah seharian snorkeling, berenang dan singgah di beberapa pulau, tiba saatnya untuk kembali ke Pulau Tidung. Sebenarnya masih ada satu pulau yang ingin saya kunjungi, tapi pemilik perahu menolak pergi kesana karena cuaca terlihat kembali memburuk pertanda akan ada badai datang.

 
Benar saja, baru sepertiga perjalanan laut yang tadinya cukup tenang terasa bergejolak dan kami telah berada ditengah badai. Alhasil perahu yang kami tumpangi berkali-kali diterpa angin dan ombak besar yang membuat kami semua basah kuyup. Beberapa dari kami mulai pucat pasi, beberapa mulai berteriak-teriak ketakutan, sementara saya sendiri masih merasa tenang-tenang saja, malah saya pikir seru juga nih, serasa arung jeram di tengah laut. Tapi kalau sampai perahunya terbalik bagaimana? Berenang saja, gitu aja kok repot.

Ditengah perjalanan, teman bule saya bertanya ke pemilik perahu apakah semua baik-baik saja. Tidak lama kemudian dia bertanya apa sebaiknya mesin perahu dimatikan dan membiarkan perahu terombang-ambing di laut karena menyalakan mesin dan terus menerjang badai adalah sangat berbahaya. Saya pikir semua masih baik-baik saja lagipula kami sudah cukup dekat dengan Pulau Tidung, jadi saya meminta dia untuk tenang saja dengan berkata bahwa saya sudah pernah mengalami badai yang lebih buruk dari ini dan buktinya saya masih hidup.

 
Terbukti akhirnya kita tiba kembali di Pulau Tidung dengan selamat. Semua terlihat begitu lega dan gembira, begitu perahu merapat ke dermaga. Si bule yang notabene adalah mantan anggota angkatan laut Amerika Serikat pastilah cukup stres, karena menurut standar keamanan angkatan laut Amerika, menerjang badai dengan perahu sekecil ini adalah tindakan gila dan sangat berbahaya. Lain halnya dengan orang Indonesia yang sudah terbiasa dengan standar keamanan yang ala kadarnya.

Langsung saja sewaktu kami turun dari perahu, seorang teman memberi selamat kepada si bule, “Welcome to Indonesia.” Beginilah Indonesia, masalah keselamatan bisa jadi nomor sekian, yang penting asiknya itu lho.

Wednesday, May 19, 2010

Hotel Gratis


Jalan-jalan ke Singapura sudah jadi ajang gengsi tersendiri buat orang Indonesia. Rasanya keren kalau jalan-jalan dan berbelanja di Singapura, meski barang yang dibeli mulai dari jenis barang sampai merknya sama-sama saja dengan yang ada di mall-mall di Indonesia. Itulah yang membuat saya malas jalan-jalan ke Singapura. Tidak ada sesuatu yang benar-benar berbeda disana.

Tapi berhubung saya suka ‘menclok’ sana-sini, suatu kali, ketika jalan-jalan ke Malaysia, saya iseng mengunjungi Singapura via Johor Baru, Malaysia. Karena judulnya “cuma iseng”, jalan-jalan di Singapura tidak direncanakan lebih dari satu hari.

Sementara tas dan perlengkapan lain kami tinggal di hotel di Kuala Lumpur, dengan kostum santai berupa t-shirt, celana pendek dan sepatu kasual, saya bersama dua orang teman berangkat ke Johor Baru, lalu dari sana kami melanjutkan perjalanan selama satu setengah jam menggunakan bus. Sampai di Singapura, kami hanya hinggap dari satu mall ke mall lain sampai bosan dan sampai hari larut malam.

Dalam rangka penghematan, juga rasanya sayang kalau harus bayar mahal untuk menginap di hotel hanya untuk beberapa jam karena besok pagi-pagi buta kami harus kembali ke Johor Baru, kami berencana numpang menginap di apartemen temannya teman.

Menggunakan MRT (Mono Rail Train) terakhir ditambah jalan kaki yang lumayan jauh, kami tiba di apartemen temannya teman lewat jam 12 malam. Berulang kali memencet bel, mengetuk pintu dari pelan, setengah kencang, sampai cukup kencang dan masih juga tidak ada jawaban dari dalam apartemen, kami mencoba menelpon. Sialnya, entah kenapa saat itu handphone kami bertiga tidak ada yang bisa dipakai menelpon. Akhirnya seorang penjaga apartemen yang baik hati membolehkan kami meminjam teleponnya.

“Halo, kami sudah ada di depan apartemen nih.” teman saya memulai pembicaraan.

“Lho? Bukannya kalian mau datang besok jam 11 siang?” jawab suara di seberang sana.

“Bukan besok, tapi malam ini. Kan tadi saya sudah sms akan datang jam 11.” Jawab teman saya lagi.

“Iya, tapi saya pikir kalian akan datang besok jam 11 siang, bukan jam 11 malam ini. Sekarang saya masih kerja shift malam dan baru pulang jam 7 pagi.” Suara di seberang sana menjelaskan.

Duh, kaki saya yang sudah lemas akibat jalan seharian penuh, langsung bertambah lemas. Kalau kami tidak bisa menginap di apartemen temannya teman itu, terus kami tidur dimana? Masalahnya, tidak ada hotel di sekitar situ, tidak ada lagi MRT yang beroperasi, dan jalanan sudah sepi betul.

Akhirnya dengan lemas kami berjalan ke stasiun MRT terdekat yang posisinya tepat berada di bawah sebuah mall. Di depan mall yang juga sudah tutup, kami cuma bisa nongkrong seperti anak hilang. Iseng-iseng saya mencoba mendorong pintu masuk mall. Ternyata tidak terkunci. Sambil terheran-heran dan tanpa pikir panjang kami langsung masuk ke dalam mall yang sudah tutup.

Baru saja duduk di dalam mall, seorang satpam yang sedang patroli keliling mall berjalan ke arah kami. Kami saling pandang, pasrah kalau sebentar lagi akan di usir keluar. Tak disangka, si satpam hanya melintas sambil sedikit melirik ke arah kami. Sungguh satpam yang aneh.

Setelah dilewati satpam, kami memutuskan untuk turun ke bawah mall, duduk di depan stasiun MRT, karena pintu masuk stasiun dikunci. Anehnya, di Singapura, meskipun mall dan stasiun sudah tutup, lampu dan AC masih menyala semua.

Di depan stasiun, kami mencari tempat mojok yang paling enak dan yang tidak ada CCTV. Saat itu yang ada dipikiran kami hanya satu, jangan sampai kita terekam CCTV dan besoknya terpampang di media Singapura dengan judul “Turis Indonesia Tidur di Stasiun MRT”.

Meski saya tidak menyarankan, ternyata tidur di stasiun MRT di Singapura tidak kalah dengan tidur di hotel. Kebersihan yang sempurna, fasilitas full AC, ditambah lagi toilet yang juga super bersih. Yang kurang hanya satu, yaitu kasur empuk. Tiba-tiba saya kembali tersadar, ini stasiun, bukan hotel.

Sunday, May 2, 2010

Si Lidah Pahit

Meski saya menyukai Bali, rasanya liburan ke Bali saja belum cukup bagi saya. Kali ini saya ngotot ingin sekalian mengunjungi ketiga Gili di Lombok. Begitu tiba di Bali, saya dan teman langsung berkeliling mencari cara dari Bali ke Gili. Untung saja akhirnya kami menemukan rute yang paling afdol. Afdol versi saya adalah praktis, bisa memuaskan hasrat berpetualang saya, dan pastinya harus cocok dengan isi dompet.


Kali ini rute afdol saya adalah dari Kuta naik shuttle bus menuju Padang Bai, kemudian menyeberang menggunakan kapal ferry ke Lembar, Lombok. Sesampainya di Lembar, lagi-lagi naik shuttle bus ke Pelabuhan Bangsal. Dari Bangsal kembali menyebrang menggunakan perahu ke Gili Trawangan. Keseluruhannya memakan waktu sekitar 10 jam perjalanan. Kedengaran repot memang, tapi perjalanan sepuluh jam ini sama sekali tidak sia-sia.

Keseruan pertama adalah saat menyeberangi Selat Lombok. Dari atas ferry, kita bisa melihat beberapa rombongan lumba-lumba yang hilir mudik, muncul tenggelam, berlompatan di samping ferry. Yang kasihan adalah teman saya yang mengalami mabuk laut selama 4,5 jam perjalanan di ferry. Sementara saya bisa asik berfoto-foto, melihat lumba-lumba, kemudian tidur ,dan juga ngemil sepanjang perjalanan, teman saya hanya duduk ‘bĂȘte’ merasakan kepala pusing, perut mual, dan lidah pahit.

Keseruan sesungguhnya tentu saja ketika kami akhirnya sampai di Gili Trawangan. Belum saja perahu merapat ke dermaga, kami sudah disuguhi pemandangan pantai putih, laut biru, dan keindahan koral yang mengintip dari dasar laut. Ditambah lagi Gili Trawangan benar-benar bebas polusi karena tidak ada kendaraan bermotor yang boleh mengotori udara pulau ini. Meski keriangan Gili Trawangan terus berlanjut dengan pesta sampai dini hari, seluruh penghuni dan pengunjung pulau benar-benar menjaga kelestarian ekosistem di sekitar pulau.

Esok harinya, setelah puas seharian menyelami keindahan didalam laut perairan Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Meno. Siang menjelang sore saya memutuskan untuk bersepeda mengelilingi pulau. Menurut penduduk disana, untuk mengelilingi Gili Trawangan hanya dibutuhkan waktu 1,5 jam menggunakan sepeda. Berdasarkan pengalaman, saya sudah mengira kalau penduduk setempat bilang butuh sekian waktu, pasti bagi kita dibutuhkan waktu yang lebih lama bagi kita. Rumus saya sih, kalikan saja dengan angka dua. Jadi kalau mereka bilang 1,5 jam untuk mengelilingi pulau, perkiraan saya perlu waktu 3 jam bersepeda untuk memutari pulau.

Benar saja, di bawah sinar matahari yang masih menyorot, bersepeda keliling pulau tidaklah mudah. Apalagi kami harus bersepeda di atas pasir yang berarti menambah beban kayuh.

Sepertiga perjalanan, teman saya yang sudah kelelahan terjatuh dari sepeda dan sandalnya putus. Terpaksa dia melanjutkan perjalanan dengan kaki telanjang. Sialnya lagi, kami lupa membawa bekal air minum. Jadi kami terpaksa menahan haus diantara kelelahan dan kepanasan, sementara kami sudah jauh dari pemukiman.

Setengah perjalanan, tepat diantara hutan dan laut biru, teman saya mogok melanjutkan perjalanan. Meski saya sudah mengeluarkan jurus bujuk rayu, jurus pembangkit semangat, dan jurus mengungkap realita bahwa kita tidak mungkin menyerah di sini, dia tidak bergeming. Dia merasa sudah tidak sanggup dan lidahnya sudah kembali terasa pahit.


Tapi Tuhan memang maha baik, tiba-tiba ada rombongan kecil bersepeda melintasi kami dari arah berlawanan dan yang paling penting mereka membawa air minum dan mau berbagi sedikit dengan kami untuk mengobati penyakit pahit lidah teman saya. Akhirnya kami bisa meneruskan perjalanan dan menikmati matahari terbenam dengan lidah yang tidak lagi pahit.

Bagi saya, menghabiskan beberapa hari di Gili Trawangan seperti berlibur di khayangan. Kalau ada tempat yang saya ingin kunjungi berkali-kali, itu adalah Gili Trawangan. Bahkan teman saya yang berulang kali mengalami pahit lidah pun setuju dengan saya. Sampai sekarang, setiap kali saya bercerita tentang perjalanan saya berikutnya, “Bagus mana dibanding Gili Trawangan?” tanya si Lidah Pahit.

Singgah di Sodom dan Gomora

Kali kedua saya menjejakkan kaki di negara Thailand, agenda saya selain mengunjungi ibu kota negara juga memuaskan rasa penasaran saya tentang keindahan pantai Pattaya yang begitu sering digembar-gemborkan, dan tambahan tujuan lain yang belum saya rencanakan, kita lihat saja kemana arah angin membawa saya terbang.








Setelah menikmati sebagian sisi Bangkok, ternyata angin membawa saya ke Ayutthaya, kota kerajaan Thailand sebelum Bangkok. Sebenarnya saya tidak tahu pasti kota seperti apa Ayutthaya dan apa yang akan saya temukan disana. Setelah sampai di Ayutthaya, saya baru ‘ngeh’ kalau ternyata Ayutthaya dikenal sebagai kota seribu kuil. Alhasil di sepanjang hari yang panas saya hanya berkeliaran dari kuil yang satu ke kuil yang lain ditemani seorang kakek pemandu yang dengan penuh semangat menjelaskan sejarah masing-masing kuil, kehidupan agama Budha di Thailand, dan tidak lupa peraturan-peraturan yang harus ditaati saat mengunjungi setiap kuil seperti dilarang memakai celana atau rok di atas lutut, dilarang memakai baju tanpa lengan, dll. Intinya semua harus berpakaian sopan dan tidak boleh terlalu seksi.


Selama di Ayutthaya, rasanya nuansa Budha begitu terasa di setiap sudut kota. Jelas saja, karena baru sepuluh menit melewati satu kuil, saya sudah menemukan kuil selanjutnya, tidak ketinggalan beserta biksu-biksunya.

Setelah puas menjelajah Ayutthaya ditambah bonus kulit gosong karena terbakar matahari, sesuai rencana saya ingin melihat sendiri kemahsyuran pantai Pattaya.

Sampai di Pattaya sore menjelang malam, saya langsung bersemangat ingin menikmati kehidupan malam di sekitar pantai.

Kesan pertama, Pattaya ternyata tidak lebih indah dari Kuta, Bali. Kesan kedua dan yang paling membekas di tabungan memori saya didapat tidak lama setelah saya berjalan menyusuri sebagian pantai.

Boro-boro bisa menikmati suasana pantai, saya malah ‘eneg’ melihat pemandangan di sekitar saya. Bayangkan, sepanjang jalan saya terus bertemu dengan turis bule tua alias kakek-kakek yang berkencan dengan bocah Thai di bawah umur. Kelihatan sekali mereka baru berumur sekitar 12 tahun, sedangkan teman kencannya si kakek berumur 60-70 tahunan. Kalau cuma melihat beberapa pasang yang seperti itu sih, saya masih tidak terlalu peduli. Nah ini, di seluruh penjuru Pattaya bersliweran kakek-kakek bule bermesraan dengan bocah-bocah Thai.


Bahkan ketika makan di sebuah restoran, tidak jauh dari meja kami, ada seorang kakek bule tua yang untuk mengangkat sendok makan saja tangannya gemetaran, lagi-lagi bersama teman kencannya, seorang gadis kecil. Teman saya pun berkata, “Gila! Ini kasus pedofilia terbanyak yang pernah saya temui.” Mendadak kami serasa terjebak di kota Sodom dan Gomora. Kontras sekali, setelah disuguhi nuansa religius Ayutthaya, tiba-tiba kami disuguhi pemandangan pantai ala Sodom dan Gomora.

Menghabiskan satu malam di Pattaya rasanya sudah lebih dari cukup untuk saya. Keesokan harinya, secepat mungkin saya segera angkat kaki dari Sodom dan Gomora menuju persinggahan lain