Sebenarnya sudah terlalu lama saya malas menulis, tapi
maraknya berita akhir-akhir ini membawa ingatan saya ketika menikmati
jalan-jalan santai di Taksim Square, Istanbul bersama seorang pria disamping
saya, yang tiba-tiba mengajukan sebuah pertanyaan, “Would you marry me? I want
to marry you.” Tentu saja saya kaget dan untuk sesaat saya tidak tahu harus
menjawab apa saking kagetnya. Romantis bukan?
Masalahnya, lelaki disamping saya ini baru
saya kenal kurang lebih lima menit yang lalu saat saya jalan-jalan sendirian di
sekitar Hagia Sophia. Dia menjejeri langkah saya sambil bertanya asal saya, “Are
you from Japan? Korea?” Saya menjawab pendek dan ramah, “No. Indonesia.” Dan
lelaki ini melanjutkan dengan bertanya sopan apakah dia bisa ngobrol sebentar,
untuk latihan bahasa inggris, katanya. Berhubung dia sopan dan tidak kelihatan
berbahaya, saya pun menjawab, “Ok but I want to keep walking.” Dengan senyum
ramah, dia bilang tidak keberatan dan singkat cerita, setelah lima menit
sedikit ngobrol sambil jalan, dia mengajak nikah! Tentu saja saya tak ingin
menghancurkan hatinya, tapi tetap saja saya tidak bahagia diajak nikah oleh
orang yang saya kenal pun tidak. Cuma ngobrol lima menit lho. Dan setelah
memberi jawaban pahit tapi sopan, saya langsung ngacir pergi dan dia pun memasang
wajah kecewa.
Belum sepuluh menit, melanjutkan
perjalanan, pria lain pun mendekati saya dan mengajak ngobrol, dan setengah
hari di Taksim Square, membuat saya malas tiap kali ada pria yang mengajak
ngobrol, “Sorry, I’m in hurry”, jawab saya pendek. Saya sadar, tentunya bukan
karena saya perempuan tercantik sejagat raya, lha buktinya beberapa turis perempuan
asing yang berjalan sendirian seperti saya, juga didekati banyak
pangeran-pangeran Turki. Begitulah nasib keluyuran sendirian di tengah kota
Istanbul. Poin positifnya sih, pria-pria di Taksim Square ini biasanya sopan dan
ga kurang ajar.
Lain lagi pas saya melanjutkan perjalanan
ke Izmir, kota di pinggir pantai dan dekat dengan beberapa situs bersejarah ini
tidak seramai Istanbul tapi justru cantik dan tenang. Saat berjalan-jalan di
tengah kota, beberapa orang sempat memandang dan bertanya asal saya dari mana
dan tentu saja saya memanfaatkan kesempatan itu untuk bertanya jalan. Setelah
itu, tidak ada embel-embel mengajak nikah dan mereka dengan ramah mengucapkan, “Enjoy
Izmir.”
Setelah ‘enjoy Izmir’ seharian dan
sendirian, malamnya saya diajak host saya dan seorang temannya untuk bergabung ke ‘Izmir couchsurfing meeting’
di sebuah bar. Hampir setiap orang memesan segelas besar bir dan mulai ngobrol
riuh ramai. Saya sempat bertanya ke host saya, “Oh kebanyakan couchsurfer yang
ada di bar ini, orang asing yang sedang melancong ke Izmir seperti saya ya?”
Dan host saya menjawab, justru sebaliknya, mayoritas adalah couchsurfer lokal.
Uh, sebentar, berarti mayoritas orang Turki asli dong. “Iya, kenapa?” “Hmm,
kalian muslim kan?” tanya saya. “Hampir semua, sama seperti saya” lanjutnya sambil
menenggak gelas birnya. “Dan kalian semua bebas minum bir dan alkohol?” Tanya
saya masih keheranan. Dia pun tertawa, yah begitulah kami di Turki, kami muslim
yang minum alkohol. Saya pun cuma manggut-manggut teringat peribahasa lain ladang
lain belalang.
Masih melanjutkan perjalanan menjelajahi
negeri bulan sabit yang cantik ini, saya naik bus dari Cappadocia ke Kayseri,
tempat saya menumpang tinggal di rumah sewaan beberapa pelajar disana yang
menjadi host saya. Berhubung bukan musim padat turis dan biasanya turis yang
mau ke Cappadocia mengambil jalur lain dan bukan berangkat dari Kayseri, bus
pun terlihat kosong. Cuma ada Pak Sopir tua dan seorang bapak tua lainnya. Di
bus, kembali Pak Sopir tua bertanya dari mana asal saya. Setelah menjawab saya
berasal dari Indonesia, dia bertanya, Indonesia adalah negara muslim terbesar
bukan? Saya pun menerangkan bahwa Indonesia, tepatnya, negara dengan populasi
muslim terbesar. Lalu Pak Sopir tua pun kembali bertanya, “Are you Muslim?”
Saya pun menggeleng ramah, “No, I’m not” “Oh, Why?” Wah bakal panjang nih
obrolan, dalam hati saya. Trus dia melanjutkan bertanya saya tinggal dimana
selama di Kayseri. Di rumah teman, jawab saya. “Your friend is muslim?” Kali
ini saya mengangguk. “Well, you are muslim then!” Saya hanya tersenyum dan kami
bertiga tertawa bersama di dalam bus.
Sepulangnya ke rumah host, saya sempat bercerita
tentang obrolan di bus, mereka pun bilang, pasti deh pak sopir itu sudah tua,
begitulah orang-orang tua disini, karena Kayseri merupakan salah satu daerah
paling religius di negara kami. Ah lagi-lagi saya teringat pepatah lain ladang
lain belalang. Dan ternyata cuma di
padang Istanbul, banyak belalang yang mengajak nikah.