Friday, July 22, 2016

Diajak Nikah

Sebenarnya sudah terlalu lama saya malas menulis, tapi maraknya berita akhir-akhir ini membawa ingatan saya ketika menikmati jalan-jalan santai di Taksim Square, Istanbul bersama seorang pria disamping saya, yang tiba-tiba mengajukan sebuah pertanyaan, “Would you marry me? I want to marry you.” Tentu saja saya kaget dan untuk sesaat saya tidak tahu harus menjawab apa saking kagetnya. Romantis bukan?



Masalahnya, lelaki disamping saya ini baru saya kenal kurang lebih lima menit yang lalu saat saya jalan-jalan sendirian di sekitar Hagia Sophia. Dia menjejeri langkah saya sambil bertanya asal saya, “Are you from Japan? Korea?” Saya menjawab pendek dan ramah, “No. Indonesia.” Dan lelaki ini melanjutkan dengan bertanya sopan apakah dia bisa ngobrol sebentar, untuk latihan bahasa inggris, katanya. Berhubung dia sopan dan tidak kelihatan berbahaya, saya pun menjawab, “Ok but I want to keep walking.” Dengan senyum ramah, dia bilang tidak keberatan dan singkat cerita, setelah lima menit sedikit ngobrol sambil jalan, dia mengajak nikah! Tentu saja saya tak ingin menghancurkan hatinya, tapi tetap saja saya tidak bahagia diajak nikah oleh orang yang saya kenal pun tidak. Cuma ngobrol lima menit lho. Dan setelah memberi jawaban pahit tapi sopan, saya langsung ngacir pergi dan dia pun memasang wajah kecewa.


Belum sepuluh menit, melanjutkan perjalanan, pria lain pun mendekati saya dan mengajak ngobrol, dan setengah hari di Taksim Square, membuat saya malas tiap kali ada pria yang mengajak ngobrol, “Sorry, I’m in hurry”, jawab saya pendek. Saya sadar, tentunya bukan karena saya perempuan tercantik sejagat raya, lha buktinya beberapa turis perempuan asing yang berjalan sendirian seperti saya, juga didekati banyak pangeran-pangeran Turki. Begitulah nasib keluyuran sendirian di tengah kota Istanbul. Poin positifnya sih, pria-pria di Taksim Square ini biasanya sopan dan ga kurang ajar.

Lain lagi pas saya melanjutkan perjalanan ke Izmir, kota di pinggir pantai dan dekat dengan beberapa situs bersejarah ini tidak seramai Istanbul tapi justru cantik dan tenang. Saat berjalan-jalan di tengah kota, beberapa orang sempat memandang dan bertanya asal saya dari mana dan tentu saja saya memanfaatkan kesempatan itu untuk bertanya jalan. Setelah itu, tidak ada embel-embel mengajak nikah dan mereka dengan ramah mengucapkan, “Enjoy Izmir.”



Setelah ‘enjoy Izmir’ seharian dan sendirian, malamnya saya diajak host saya dan seorang temannya untuk bergabung ke ‘Izmir couchsurfing meeting’ di sebuah bar. Hampir setiap orang memesan segelas besar bir dan mulai ngobrol riuh ramai. Saya sempat bertanya ke host saya, “Oh kebanyakan couchsurfer yang ada di bar ini, orang asing yang sedang melancong ke Izmir seperti saya ya?” Dan host saya menjawab, justru sebaliknya, mayoritas adalah couchsurfer lokal. Uh, sebentar, berarti mayoritas orang Turki asli dong. “Iya, kenapa?” “Hmm, kalian muslim kan?” tanya saya. “Hampir semua, sama seperti saya” lanjutnya sambil menenggak gelas birnya. “Dan kalian semua bebas minum bir dan alkohol?” Tanya saya masih keheranan. Dia pun tertawa, yah begitulah kami di Turki, kami muslim yang minum alkohol. Saya pun cuma manggut-manggut teringat peribahasa lain ladang lain belalang.  

Masih melanjutkan perjalanan menjelajahi negeri bulan sabit yang cantik ini, saya naik bus dari Cappadocia ke Kayseri, tempat saya menumpang tinggal di rumah sewaan beberapa pelajar disana yang menjadi host saya. Berhubung bukan musim padat turis dan biasanya turis yang mau ke Cappadocia mengambil jalur lain dan bukan berangkat dari Kayseri, bus pun terlihat kosong. Cuma ada Pak Sopir tua dan seorang bapak tua lainnya. Di bus, kembali Pak Sopir tua bertanya dari mana asal saya. Setelah menjawab saya berasal dari Indonesia, dia bertanya, Indonesia adalah negara muslim terbesar bukan? Saya pun menerangkan bahwa Indonesia, tepatnya, negara dengan populasi muslim terbesar. Lalu Pak Sopir tua pun kembali bertanya, “Are you Muslim?” Saya pun menggeleng ramah, “No, I’m not” “Oh, Why?” Wah bakal panjang nih obrolan, dalam hati saya. Trus dia melanjutkan bertanya saya tinggal dimana selama di Kayseri. Di rumah teman, jawab saya. “Your friend is muslim?” Kali ini saya mengangguk. “Well, you are muslim then!” Saya hanya tersenyum dan kami bertiga tertawa bersama di dalam bus.


Sepulangnya ke rumah host, saya sempat bercerita tentang obrolan di bus, mereka pun bilang, pasti deh pak sopir itu sudah tua, begitulah orang-orang tua disini, karena Kayseri merupakan salah satu daerah paling religius di negara kami. Ah lagi-lagi saya teringat pepatah lain ladang lain belalang. Dan ternyata cuma di padang Istanbul, banyak belalang yang mengajak nikah. 

Wednesday, June 29, 2011

Gagap Bahasa

Buat orang seperti saya yang suka keluyuran jauh dari rumah, masalah bahasa lumayan jadi faktor penting. Berada di suatu tempat tanpa menguasai bahasa setempat pastinya cukup merepotkan apalagi teman-teman ‘geng keluyuran’ saya termasuk gagap bahasa alias bahasa inggrisnya belang-bentong.

Suatu kali kami makan siang di sebuah restoran di Hongkong dan salah satu teman pria saya ingin makan dada ayam. Dengan penuh percaya diri dia bertanya kepada pelayan wanita di restoran itu,“Do you have breast?” Parahnya lagi, supaya si pelayan mengerti,secara refleks tangan teman saya memperagakan kedua tangan kedua tangan di dadanya sebagai bahasa isyarat. Saya langsung kaget dan berbisik, “Gawat! Bentar lagi ditampar deh.” Untungnya, kita berada di di Hongkong yang pelayannya kebetulan juga gagap bahasa. Jadi si pelayan hanya bengong dengan tampang bingung. Fiuh. Kali ini selamat deh. Coba saja kalau si pelayan mengerti bahasa inggris, kalau tidak satu tamparan mendarat di pipinya, paling tidak si pelayan bakal melotot dan memaki-maki temanku yang malang karena dianggap telah melecehkan. Hahaha.

Ternyata masalah makan dan bahasa belum selesai sampai disitu. Setelah melihat semua nasi yang disediakan restoran itu disiram dengan saus jamur, teman saya yang tidak suka jamur langsung bilang, “No mosquito! No mosquito!”  Serempak kita semua melongo, “Mosquito?! Maksud loe nyamuk?” “Bukan. Gua ga mau jamur,’ jelasnya dengan tampang polos. “Halah! Itu sih mushroom! Bukan mosquito! Mosquito itu nyamuk! Hahaha.” Sambil cengegesan dia bilang, “Perasaan jamur itu bahasa inggrisnya M..M…apa ya? Gue ingetnya sih Mosquito. Hehehe.” Bisa-bisanya dia bilang nasinya tidak mau ditambah nyamuk. Siapa juga yang mau.

Selain beda bahasa, tidak jarang pengucapan bahasa bisa jadi suatu masalah. Kali ini saya dan teman mengambil paket tur sehari di Bangkok, Thailand. Pagi-pagi sebelum jam 7, kami sudah dibangunkan oleh telepon dari petugas tur yang sudah nongkrong di lobby hotel. Sambil masih mengantuk kita diantar ke mobil minibus yang juga sudah nongkrong di pinggir jalan. Disana yang berkumpul tidak cuma turis-turis yang mengambil paket tur yang sama tapi juga semua turis yang hari itu akan berangkat dengan tujuan dan paket yang berbeda. Untuk membedakan paket tur yang kita ambil, lengan baju kita ditempel stiker berwarna sesuai dengan paket tur kita. Untuk urusan mengorganisir tur ini, orang-orang Thailand memang paling top dibanding negara-negara asia tenggara lain. Tidak satupun turis yang dibuat bingung dan terlunta-lunta atau di pingpong sana-sini meski para turis memesan paket tur dari agen perjalanan yang berbeda-beda dengan tujuan yang berbeda-beda pula. Tidak heran pariwisata Thailand cukup maju  dibanding negara-negara tetangganya, termasuk Indonesia.

Setelah badan kita ditandai, kita disuruh masuk salah satu mobil minibus. Saya dan kedua teman saya adalah rombongan pertama yang masuk mobil. Kami langsung mengambil posisi duduk di barisan kursi tepat di belakang supir dan beberapa turis lain duduk di barisan belakang kami, sementara barisan kursi paling belakang masih kosong. Kemudian ada seorang ibu yang rupanya bertugas mengatur para turis yang akan berangkat berkata dengan bahasa Thai, “Bihay, bihay.” Makin lama teriakannya makin keras, “Bihay! Bihay!” Entah dia bicara dengan siapa dan apa artinya. Lama kelamaan si ibu terlihat makin emosi. Teriakannya saja makin keras ditambah lagi matanya kian melotot. Masalahnya dia kok melototnya ke arah kami. Ternyata si ibu berteriak-teriak kepada kami, mungkin dipikirnya kami ini turis lokal Thailand karena sebagai sesama orang asia, wajah dan postur tubuh kami tidak jauh berbeda dengan orang asli Thailand. Jadi saya langsung pasang tampang bego dengan maksud si ibu itu mengerti kalau kami bukan orang Thailand dan tidak mengerti bahasa Thai. Tapi si ibu ini malah semakin emosi sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke barisan belakang mobil.

Ah! Saya baru sadar ternyata yang dia ucapkan adalah bahasa inggris ‘behind!’ tapi berhubung diucapkan dengan logat Thailand yang kental jadi terdengar ‘bihay, bihay’. Lha, ternyata maksud ‘bihay, bihay’ itu mengisi kursi di barisan belakang dulu alias behind. Pantas saja makin lama ibu itu makin naik darah, sudah teriak-teriak di depan kita, kita masih cuek bebek saja malah pasang tampang bego. Kami langsung ngedumel sambil cekikikan, “Yee, ngomongnya yang jelas dong bu, mo bilangbehind aja kok repot.”



Rupanya masalah bahasa ini tidak hanya terjadi di negeri orang saja. Di negeri sendiri, meskipun masih satu Indonesia, banyaknya suku dan bahasa yang ada kadang menimbulkan kejadian-kejadian lucu. Seperti waktu saya dan kakak saya menginap di rumah tante di Cirebon. Sore itu tante saya yang sedang duduk di beranda rumah melihat penjual sate sapi yang lewat. Langsung ia berteriak kepada kami “Kalian mau beli sate sapi nggak?” Kakakku balas berteriak dari dalam rumah, “Beli, Tante.” Selang 15 menit, kami masih menunggu sate sapi yang tak kunjung datang. Masa membakar sate selama itu. Akhirnya kami menyusul ke beranda dan ternyata tidak ada penjual sate disitu. Yang ada hanyalah tante kami yang sedang duduk santai menikmati suasana sore hari. “Lho, satenya mana Tan?” Ditanya begitu, tante malah bingung “Kan tadi bilangnya beli.” Mendadak tanteku sadar dan tertawa, sementara kami masih bengong. Lalu tante menjelaskan, ternyata beli dalam bahasa cirebonan itu artinya tidak. Pantas saja sate yang ditunggu-tunggu tidak datang karena kakak saya menjawab beli = tidak, waktu ditanya oleh tante. Alhasil kami hanya bisa meneteskan air liur lagi-lagi karena kendala bahasa, meskipun di negeri sendiri.

Bahasa Rahasia

Salah satu yang menyebalkan kalau saya jalan-jalan ke luar Indonesia adalah rasanya semua jadi serba mahal. Setiap kali mau beli sesuatu pasti saya mengeluarkan ilmu hitung menghitung dari mata uang setempat ke rupiah dan ujung-ujungnya saya meratapi nasib bangsa Indonesia yang memiliki nilai tukar mata uang yang rendah. 

Masih mending kalau belanja di supermarket atau penjual yang mematok harga pas, tidak usah repot tawar-menawar. Tapi kekurangannya adalah biasanya harga di supermarket lebih mahal dari toko yang menjual barang dengan gaya tawar menawar, meski tidak semuanya.

Jadi setiap kali mau bertransaksi , gaya tawar menawar saya adalah tanya harga, mengeluarkan handphone, lalu pencet-pencet bukan untuk menelpon tapi menggunakan kalkulator yang ada di handphone, kemudian mengajukan penawaran harga. Kalau si penjual menurunkan harga tawarannya, saya kembali melakukan aksi pencet-pencet handphone lalu kembali mengajukan penawaran. Begitulah seterusnya sampai saya mendapatkan harga yang pas atau malah akhirnya saya ngeloyor pergi dengan tangan kosong karena tidak proses tawar menawar gagal.

Yang lebih seru kalau belanja bersama teman jalan saya, selain jurus pencet-pencet handphone, biasanya saya dan teman saling berkomentar atau berdiskusi tentang harga dengan menggunakan bahasa Indonesia supaya si penjual tidak mengerti. 

Yang jadi masalah adalah waktu kami jalan-jalan ke Malaysia, negara tetangga yang bahasanya mirip dengan Bahasa Indonesia karena masih serumpun. Apalagi saat di Kuala Lumpur yang merupakan kota metropolitan seperti Jakarata, kegiatan saya disana tidak lebih dari jalan-jalan di tengah kota dan belanja. 

Tidak kehilangan akal, di Kuala Lumpur kami menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa rahasia. ‘Awis ah sakitu mah, jigana saratus mah dibere’ yang artinya: Mahal ah segitu sih, kayanya seratus bakal dikasih. Begitulah kira-kira bahasa rahasia kami. Bahasa rahasia ini cukup sukses digunakan selama berada di Malaysia, karena biasanya mereka bingung dari negara manakah kami berasal. Beda cerita kalau kami berkomentar menggunakan Bahasa Indonesia, biasanya mereka langsung ikut nimbrung menggunakan Bahasa Melayu.

Nah, satu kali saat kami sedang tawar menawar harga di Kuala Lumpur, seperti biasa kami asik berkomentar menggunakan bahasa rahasia alias Bahasa Sunda, tidak lama kemudian penjual di toko sebelah yang keturunan India ikut nyeletuk, “Kadieu atuh, kadieu. Murah.” Saya dan teman saling berpandangan dan tertawa. Yah, bahasa rahasia kami terbongkar deh.


Ngomong-ngomong tentang bahasa rahasia, mau tau kata terfavorit dalam bahasa rahasia kami? Tentu saja kata yang paling sering diucapkan saat belanja di luar negeri adalah awis alias mahal.

Wednesday, March 2, 2011

Sahabat Saya Si Untung

Berlibur ke Pangandaran sepertinya sudah menjadi tradisi orang Bandung. Hampir setiap musim liburan, ada saja teman yang mengajak berlibur ke Pangandaran. Biasanya saya selalu menolak ajakan-ajakan itu karena bagi saya Pangandaran tidak terlalu istimewa dan rasanya bosan kalau harus bolak-balik mengunjungi tempat yang sama padahal masih banyak tempat lain yang belum saya kunjungi, tapi kali ini, dengan sedikit paksaan, akhirnya saya setuju ikut berlibur ke Pangandaran.


Menghabiskan waktu beberapa hari di Pantai Pangandaran terasa biasa saja, kecuali saat makan tiba. Dengan semangat saya memilih aneka ikan dan saudara-saudaranya, yaitu udang, kepiting, dan cumi di pasar ikan, lalu mengeluarkan segenap kemampuan bernegosiasi alias tawar menawar harga dan akhirnya menyerbu hidangan laut yang sudah dimasak sampai ludes.


Sebenarnya ada satu syarat yang saya ajukan sewaktu teman saya mengajak ke Pangandaran, syaratnya adalah saya mau ikut ke Pangandaran kalau mereka mau singgah di Green Canyon. Ngapain repot-repot melakukan perjalanan kalau tidak ada sesuatu yang baru dan menarik buat saya.


Sesuai kesepakatan awal, pada hari ketiga kami melakukan perjalanan ke Green Canyon. Sebenarnya saya tidak berharap banyak akan menemukan keindahan atau keseruan di Green Canyon, saya cuma berpikir setidaknya ada suasana baru.


Setelah melakukan perjalanan dengan mobil, kami naik perahu menyusuri sungai berwarna hijau dan berair payau. Perjalanan menggunakan perahu hanya makan waktu sebentar lalu perahu berhenti di mulut gua dan kami harus meneruskan perjalanan tanpa perahu. Beberapa menit kemudian saya baru sadar kalau itu bukan gua. Jelas saja, judulnya saja Green Canyon, sudah pasti itu adalah ngarai.


Begitu memasuki ngarai, wow! Saya terpukau dengan suasana ngarai hijau ini. Tebing tinggi berlumut di kanan kiri lalu dasar ngarai adalah air yang begitu bening sehingga kita bisa melihat bebatuan berlubang-lubang di dasar air. Ditambah lagi tetesan air yang jatuh dari atas tebing berpadu dengan sinar matahari yang menembus tumbuh-tumbuhan hijau di sekitar tebing yang membuat setiap tetesan air tampak berkilauan. Mendadak saya merasa sedang berada di dunia petualangan Indiana Jones dan saya pun siap beraksi.


Dengan penuh semangat untuk menjelajahi dunia baru ala Indiana Jones, saya berenang menyusuri ngarai disambung dengan merangkak melewati bebatuan lalu kembali berenang lalu harus melompati bebatuan, lalu berenang kembali, lalu memanjati bebatuan, dan lagi-lagi kembali berenang. Sungguh petualangan yang seru.


Satu hal yang menarik, tidak lama setelah berenang menyusuri ngarai, ada satu batu besar setinggi tujuh meter dari permukaan air ngarai yang bisa dipakai terjun ke air. Untuk memanjatnya saja lumayan ngeri, tapi masa sih saya sudah disini tapi tidak mencoba terjun dari batu itu. Sambil ngeri-ngeri asik saya memberanikan diri memanjat bebatuan licin sampai di ketinggian 7 meter. 


Setelah bersusah payah memanjat, sampai di ketinggian tujuh meter saya memandang ke bawah. Mengerikan sekali! Dari atas saya bisa melihat area lompatan saya hanya seluas 2 x 2 meter persegi, sementara diluar itu hanya ada air dangkal dengan dasar bebatuan keras. Kalau sampai lompatan saya meleset, tentu saja badan saya langsung terhempas ke bebatuan. 


Sudah kepalang tanggung, saya harus melompat. Dengan ngeri dan penuh doa, satu dua tiga! Saya melompat. Lalu terdengar bunyi, buukkkkk! Secepat kilat saya muncul dari dalam air dan berteriak, “Sakiiiittttttttttt!” 


Ternyata saya mendarat di tempat yang tepat, hanya saja posisi jatuhnya yang salah. Saya mendarat dengan posisi duduk sehingga pantat dan paha saya terasa sakit sekali. Begitu keluar dari air, saya langsung memeriksa badan saya. Ternyata pantat dan paha saya langsung berubah warna menjadi biru ungu lebam, sakit sekali. 


Yah, masih untung cuma salah posisi pendaratan, tidak terbayang kalo saya meleset dan jatuh di bebatuan, entah berapa tulang yang akan patah. “Sudah sakit begitu kok masih bilang masih untung.” komentar teman saya. Tapi betul kan, biarpun badan sakit biru lebam, masih untung tidak patah tulang. 


Setiap kali saya melakukan perjalanan, biarpun kesasar jauh dan cape, masih untung bisa menemukan jalan pulang. Ban mobil bocor? Masih untung ada yang mau menolong menggantikan ban. Kehilangan uang? Masih untung bawa kartu kredit. Kelelahan karena harus berjalan jauh? Masih untung ada yamg memberi tumpangan. Rupanya, kemanapun saya pergi, si Untung selalu menjadi teman setia saya. 


Coba kalau saya cuma berpikir sakitnya badan saya gara-gara salah lompat, kerepotan gara-gara ban mobil bocor, kesialan gara-gara uang yang hilang, pasti kesenangan seluruh perjalanan jadi hancur berantakan. Lebih baik bersahabat dengan si untung, membuat saya merasa selalu beruntung dan bersyukur.

Thursday, July 15, 2010

Dicari: Orang Gendut

Begitu mendarat di Tan Son Nhat Airport malam hari, saya dan teman langsung memesan taksi menuju penginapan di pusat kota Saigon. Sepanjang perjalanan menuju hotel, saya celingukan kiri-kanan melihat pemandangan kota Saigon. Kesan pertama, jalanan di kota Saigon dipenuhi motor dan sepeda yang bersliweran, mobil malah jarang terlihat di jalanan. Kesan kedua, sedari tadi yang saya lihat lihat adalah orang-orang Vietnam yang langsing-langsing, baik pria maupun wanitanya.

Saya pun berkomentar kepada teman saya, “Wah, orang Vietnam langsing-langsing semua.” Teman saya langsung menjawab, “Ini sih bukan langsing, tapi kurus.” Semakin penasaran, sepanjang jalan kami terus memelototi orang-orang Vietnam yang hilir mudik. Wah, benar! Tidak ada satupun orang gendut yang kami lihat.


Tidak berapa lama kemudian saya besorak, “Akhirnya! Ada satu orang gendut! Hahaha.” Yah, sebenarnya tidak gendut-gendut amat sih, tapi lumayanlah setelah sepanjang jalan hanya melihat orang-orang cungkring. Hehe.

Tidak cuma kurus langsing, ternyata rata-rata orang Vietnam memiliki postur tubuh yang serupa. Jarang sekali orang Vietnam bertubuh tinggi. Untuk tinggi badan, sedikit sekali orang Vietnam yang memiliki tinggi badan lebih dari 170cm.

Masih juga penasaran, sewaktu pergi minum dengan seorang teman Vietnam saya bilang, “Kok di Saigon saya susah sekali menemukan orang gendut.” Teman Vietnam saya ternyata punya resepnya, dia bilang, itu karena makanan Vietnam cenderung sehat dan hanya mengandung sedikit lemak.

Seorang teman lain yang blasteran Perancis-Vietnam juga mengatakan hal yang sama, itu gara-gara pola makan yang sehat ditambah orang Vietnam suka berolahraga. Tidak cuma kalangan muda, orang-orang tua Vietnam juga tergolong rajin menjaga kebugaran tubuhnya, begitu kata teman Perancis-Vietnam saya.

Oh, itu toh rahasianya. Memang sih, sepanjang jalan di kota Saigon jarang terlihat restoran junk food. Yang banyak terpajang adalah makanan Vietnam yang mantap banget rasanya di lidah plus harganya yang juga enak banget buat kantong, alias murah meriah.

Paginya, saat saya jalan-jalan di pusat kota Saigon, ternyata apa yang dikatakan teman-teman saya itu memang benar. Di taman-taman kota terlihat banyak orang Vietnam, tua muda sedang asik berolah raga. Mulai dari aerobik, senam pernapasan, badminton, sampai sepak takraw. Malah saya menemukan seorang kakek sedang berlatih menggunakan bongkahan batu dari semen seberat lebih dari 10kg di depan rumahnya. Saya langsung nyeletuk, “Wah, gaya banget nih si engkong, biarpun rumahnya di pusat kota dan ramai dengan orang hilir mudik, si engkong dengan cueknya melatih otot bisep dan trisep. Pake beban berat pula.”

Jadi benar-benar tidak ada orang gendut di Vietnam? Hmm, tidak juga sih. Saat berpindah ke kota Hanoi, orang Vietnam disana tidak sekurus orang Vietnam di Saigon dan kota-kota lain. Mungkin karena orang-orang Hanoi punya gaya hidup yang relatif lebih modern dibanding warga Vietnam di kota lain.
Di Hanoi banyak toko-toko yang menjual baju import dari Korea dan China, juga lebih banyak restoran ala barat yang menyajikan makanan yang berlemak jenuh.

Jadi kesimpulan dan saran saya, kalau mau langsing, daripada bayar mahal ke pusat penglasingan tubuh, mending uangnya untuk jalan-jalan dan makan di Vietnam, asal jangan di Hanoi. Kalau kata peribahasa, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekali keluar uang, bisa berlibur di Vietnam sekaligus punya gaya hidup dan pola makan yang sehat.

Thursday, May 20, 2010

Welcome To Indonesia


Melihat jembatan kayu sepanjang dua kilometer yang menghubungkan Pulau Tidung Besar dengan Pulau Tidung Kecil membuat saya langsung membayangkan kenikmatan duduk di atas jembatan kayu sambil memandang matahari terbenam. Itulah yang membuat saya memutuskan untuk berlibur ke Pulau Tidung.

 
Berangkat dari Pelabuhan Muara Angke yang berbau amis, becek ditambah melihat air laut yang hitam penuh sampah sudah tentu bukan pemandangan indah. Ditambah lagi kami harus berdesakan dan berebutan untuk naik perahu yang sudah berjubel penuh penumpang karena hari itu cukup banyak orang yang juga berangkat ke Pulau Tidung. Tapi bagi saya, seni dari melakukan perjalanan adalah menikmati setiap suasana. Hitung-hitung menambah pengalaman baru yang seru.

Yang sedikit membuat saya kuatir adalah kali ini saya membawa dua teman bule dan seorang teman keturunan Jepang yang berkebangsaan Amerika. Kira-kira apa yang ada di benak mereka tentang Indonesia ya. Jorok, kotor dan berbau? Semoga saja sesampainya di Pulau Tidung kesan itu terhapus oleh keindahan pantai dan laut biru negeri ini.

 
Begitu tiba Pulau Tidung, seketika semua kesan buruk langsung lenyap setelah saya melihat jembatan kayu idaman saya yang ternyata jauh lebih panjang dari yang saya bayangkan. Melewati jembatan kayu yang menjadi alasan saya datang ke Pulau Tidung sambil diterpa angin yang cukup keras, membuat sensasi tersendiri. Dan akhirnya saya benar-benar menikmati pemandangan matahari terbenam di atas jembatan kayu ini. Tidak ketinggalan sambil berfoto-foto ria.

 
Keesokan harinya, sesuai rencana kami menyewa perahu untuk bersnorkeling dan menikmati beberapa pulau di sekitar Pulau Tidung. Dari pagi hari, cuaca terlihat kurang bersahabat tapi kami memutuskan tetap pergi. Selama tidak berbahaya, kapan lagi bisa menikmati keindahan bawah laut di pulau sekitar karena besok kami sudah harus kembali pulang. Bersyukur di tengah perjalanan cuaca membaik dan kami bisa menikmati gugusan karang nan cantik dan ikan warna-warni yang bersliweran di bawah permukaan laut.

Setelah seharian snorkeling, berenang dan singgah di beberapa pulau, tiba saatnya untuk kembali ke Pulau Tidung. Sebenarnya masih ada satu pulau yang ingin saya kunjungi, tapi pemilik perahu menolak pergi kesana karena cuaca terlihat kembali memburuk pertanda akan ada badai datang.

 
Benar saja, baru sepertiga perjalanan laut yang tadinya cukup tenang terasa bergejolak dan kami telah berada ditengah badai. Alhasil perahu yang kami tumpangi berkali-kali diterpa angin dan ombak besar yang membuat kami semua basah kuyup. Beberapa dari kami mulai pucat pasi, beberapa mulai berteriak-teriak ketakutan, sementara saya sendiri masih merasa tenang-tenang saja, malah saya pikir seru juga nih, serasa arung jeram di tengah laut. Tapi kalau sampai perahunya terbalik bagaimana? Berenang saja, gitu aja kok repot.

Ditengah perjalanan, teman bule saya bertanya ke pemilik perahu apakah semua baik-baik saja. Tidak lama kemudian dia bertanya apa sebaiknya mesin perahu dimatikan dan membiarkan perahu terombang-ambing di laut karena menyalakan mesin dan terus menerjang badai adalah sangat berbahaya. Saya pikir semua masih baik-baik saja lagipula kami sudah cukup dekat dengan Pulau Tidung, jadi saya meminta dia untuk tenang saja dengan berkata bahwa saya sudah pernah mengalami badai yang lebih buruk dari ini dan buktinya saya masih hidup.

 
Terbukti akhirnya kita tiba kembali di Pulau Tidung dengan selamat. Semua terlihat begitu lega dan gembira, begitu perahu merapat ke dermaga. Si bule yang notabene adalah mantan anggota angkatan laut Amerika Serikat pastilah cukup stres, karena menurut standar keamanan angkatan laut Amerika, menerjang badai dengan perahu sekecil ini adalah tindakan gila dan sangat berbahaya. Lain halnya dengan orang Indonesia yang sudah terbiasa dengan standar keamanan yang ala kadarnya.

Langsung saja sewaktu kami turun dari perahu, seorang teman memberi selamat kepada si bule, “Welcome to Indonesia.” Beginilah Indonesia, masalah keselamatan bisa jadi nomor sekian, yang penting asiknya itu lho.

Wednesday, May 19, 2010

Hotel Gratis


Jalan-jalan ke Singapura sudah jadi ajang gengsi tersendiri buat orang Indonesia. Rasanya keren kalau jalan-jalan dan berbelanja di Singapura, meski barang yang dibeli mulai dari jenis barang sampai merknya sama-sama saja dengan yang ada di mall-mall di Indonesia. Itulah yang membuat saya malas jalan-jalan ke Singapura. Tidak ada sesuatu yang benar-benar berbeda disana.

Tapi berhubung saya suka ‘menclok’ sana-sini, suatu kali, ketika jalan-jalan ke Malaysia, saya iseng mengunjungi Singapura via Johor Baru, Malaysia. Karena judulnya “cuma iseng”, jalan-jalan di Singapura tidak direncanakan lebih dari satu hari.

Sementara tas dan perlengkapan lain kami tinggal di hotel di Kuala Lumpur, dengan kostum santai berupa t-shirt, celana pendek dan sepatu kasual, saya bersama dua orang teman berangkat ke Johor Baru, lalu dari sana kami melanjutkan perjalanan selama satu setengah jam menggunakan bus. Sampai di Singapura, kami hanya hinggap dari satu mall ke mall lain sampai bosan dan sampai hari larut malam.

Dalam rangka penghematan, juga rasanya sayang kalau harus bayar mahal untuk menginap di hotel hanya untuk beberapa jam karena besok pagi-pagi buta kami harus kembali ke Johor Baru, kami berencana numpang menginap di apartemen temannya teman.

Menggunakan MRT (Mono Rail Train) terakhir ditambah jalan kaki yang lumayan jauh, kami tiba di apartemen temannya teman lewat jam 12 malam. Berulang kali memencet bel, mengetuk pintu dari pelan, setengah kencang, sampai cukup kencang dan masih juga tidak ada jawaban dari dalam apartemen, kami mencoba menelpon. Sialnya, entah kenapa saat itu handphone kami bertiga tidak ada yang bisa dipakai menelpon. Akhirnya seorang penjaga apartemen yang baik hati membolehkan kami meminjam teleponnya.

“Halo, kami sudah ada di depan apartemen nih.” teman saya memulai pembicaraan.

“Lho? Bukannya kalian mau datang besok jam 11 siang?” jawab suara di seberang sana.

“Bukan besok, tapi malam ini. Kan tadi saya sudah sms akan datang jam 11.” Jawab teman saya lagi.

“Iya, tapi saya pikir kalian akan datang besok jam 11 siang, bukan jam 11 malam ini. Sekarang saya masih kerja shift malam dan baru pulang jam 7 pagi.” Suara di seberang sana menjelaskan.

Duh, kaki saya yang sudah lemas akibat jalan seharian penuh, langsung bertambah lemas. Kalau kami tidak bisa menginap di apartemen temannya teman itu, terus kami tidur dimana? Masalahnya, tidak ada hotel di sekitar situ, tidak ada lagi MRT yang beroperasi, dan jalanan sudah sepi betul.

Akhirnya dengan lemas kami berjalan ke stasiun MRT terdekat yang posisinya tepat berada di bawah sebuah mall. Di depan mall yang juga sudah tutup, kami cuma bisa nongkrong seperti anak hilang. Iseng-iseng saya mencoba mendorong pintu masuk mall. Ternyata tidak terkunci. Sambil terheran-heran dan tanpa pikir panjang kami langsung masuk ke dalam mall yang sudah tutup.

Baru saja duduk di dalam mall, seorang satpam yang sedang patroli keliling mall berjalan ke arah kami. Kami saling pandang, pasrah kalau sebentar lagi akan di usir keluar. Tak disangka, si satpam hanya melintas sambil sedikit melirik ke arah kami. Sungguh satpam yang aneh.

Setelah dilewati satpam, kami memutuskan untuk turun ke bawah mall, duduk di depan stasiun MRT, karena pintu masuk stasiun dikunci. Anehnya, di Singapura, meskipun mall dan stasiun sudah tutup, lampu dan AC masih menyala semua.

Di depan stasiun, kami mencari tempat mojok yang paling enak dan yang tidak ada CCTV. Saat itu yang ada dipikiran kami hanya satu, jangan sampai kita terekam CCTV dan besoknya terpampang di media Singapura dengan judul “Turis Indonesia Tidur di Stasiun MRT”.

Meski saya tidak menyarankan, ternyata tidur di stasiun MRT di Singapura tidak kalah dengan tidur di hotel. Kebersihan yang sempurna, fasilitas full AC, ditambah lagi toilet yang juga super bersih. Yang kurang hanya satu, yaitu kasur empuk. Tiba-tiba saya kembali tersadar, ini stasiun, bukan hotel.