Friday, July 22, 2016

Diajak Nikah

Sebenarnya sudah terlalu lama saya malas menulis, tapi maraknya berita akhir-akhir ini membawa ingatan saya ketika menikmati jalan-jalan santai di Taksim Square, Istanbul bersama seorang pria disamping saya, yang tiba-tiba mengajukan sebuah pertanyaan, “Would you marry me? I want to marry you.” Tentu saja saya kaget dan untuk sesaat saya tidak tahu harus menjawab apa saking kagetnya. Romantis bukan?



Masalahnya, lelaki disamping saya ini baru saya kenal kurang lebih lima menit yang lalu saat saya jalan-jalan sendirian di sekitar Hagia Sophia. Dia menjejeri langkah saya sambil bertanya asal saya, “Are you from Japan? Korea?” Saya menjawab pendek dan ramah, “No. Indonesia.” Dan lelaki ini melanjutkan dengan bertanya sopan apakah dia bisa ngobrol sebentar, untuk latihan bahasa inggris, katanya. Berhubung dia sopan dan tidak kelihatan berbahaya, saya pun menjawab, “Ok but I want to keep walking.” Dengan senyum ramah, dia bilang tidak keberatan dan singkat cerita, setelah lima menit sedikit ngobrol sambil jalan, dia mengajak nikah! Tentu saja saya tak ingin menghancurkan hatinya, tapi tetap saja saya tidak bahagia diajak nikah oleh orang yang saya kenal pun tidak. Cuma ngobrol lima menit lho. Dan setelah memberi jawaban pahit tapi sopan, saya langsung ngacir pergi dan dia pun memasang wajah kecewa.


Belum sepuluh menit, melanjutkan perjalanan, pria lain pun mendekati saya dan mengajak ngobrol, dan setengah hari di Taksim Square, membuat saya malas tiap kali ada pria yang mengajak ngobrol, “Sorry, I’m in hurry”, jawab saya pendek. Saya sadar, tentunya bukan karena saya perempuan tercantik sejagat raya, lha buktinya beberapa turis perempuan asing yang berjalan sendirian seperti saya, juga didekati banyak pangeran-pangeran Turki. Begitulah nasib keluyuran sendirian di tengah kota Istanbul. Poin positifnya sih, pria-pria di Taksim Square ini biasanya sopan dan ga kurang ajar.

Lain lagi pas saya melanjutkan perjalanan ke Izmir, kota di pinggir pantai dan dekat dengan beberapa situs bersejarah ini tidak seramai Istanbul tapi justru cantik dan tenang. Saat berjalan-jalan di tengah kota, beberapa orang sempat memandang dan bertanya asal saya dari mana dan tentu saja saya memanfaatkan kesempatan itu untuk bertanya jalan. Setelah itu, tidak ada embel-embel mengajak nikah dan mereka dengan ramah mengucapkan, “Enjoy Izmir.”



Setelah ‘enjoy Izmir’ seharian dan sendirian, malamnya saya diajak host saya dan seorang temannya untuk bergabung ke ‘Izmir couchsurfing meeting’ di sebuah bar. Hampir setiap orang memesan segelas besar bir dan mulai ngobrol riuh ramai. Saya sempat bertanya ke host saya, “Oh kebanyakan couchsurfer yang ada di bar ini, orang asing yang sedang melancong ke Izmir seperti saya ya?” Dan host saya menjawab, justru sebaliknya, mayoritas adalah couchsurfer lokal. Uh, sebentar, berarti mayoritas orang Turki asli dong. “Iya, kenapa?” “Hmm, kalian muslim kan?” tanya saya. “Hampir semua, sama seperti saya” lanjutnya sambil menenggak gelas birnya. “Dan kalian semua bebas minum bir dan alkohol?” Tanya saya masih keheranan. Dia pun tertawa, yah begitulah kami di Turki, kami muslim yang minum alkohol. Saya pun cuma manggut-manggut teringat peribahasa lain ladang lain belalang.  

Masih melanjutkan perjalanan menjelajahi negeri bulan sabit yang cantik ini, saya naik bus dari Cappadocia ke Kayseri, tempat saya menumpang tinggal di rumah sewaan beberapa pelajar disana yang menjadi host saya. Berhubung bukan musim padat turis dan biasanya turis yang mau ke Cappadocia mengambil jalur lain dan bukan berangkat dari Kayseri, bus pun terlihat kosong. Cuma ada Pak Sopir tua dan seorang bapak tua lainnya. Di bus, kembali Pak Sopir tua bertanya dari mana asal saya. Setelah menjawab saya berasal dari Indonesia, dia bertanya, Indonesia adalah negara muslim terbesar bukan? Saya pun menerangkan bahwa Indonesia, tepatnya, negara dengan populasi muslim terbesar. Lalu Pak Sopir tua pun kembali bertanya, “Are you Muslim?” Saya pun menggeleng ramah, “No, I’m not” “Oh, Why?” Wah bakal panjang nih obrolan, dalam hati saya. Trus dia melanjutkan bertanya saya tinggal dimana selama di Kayseri. Di rumah teman, jawab saya. “Your friend is muslim?” Kali ini saya mengangguk. “Well, you are muslim then!” Saya hanya tersenyum dan kami bertiga tertawa bersama di dalam bus.


Sepulangnya ke rumah host, saya sempat bercerita tentang obrolan di bus, mereka pun bilang, pasti deh pak sopir itu sudah tua, begitulah orang-orang tua disini, karena Kayseri merupakan salah satu daerah paling religius di negara kami. Ah lagi-lagi saya teringat pepatah lain ladang lain belalang. Dan ternyata cuma di padang Istanbul, banyak belalang yang mengajak nikah. 

No comments:

Post a Comment